NPM : 12215866
Kelas : 3EA25
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Tujuan
suatu negara tidak lain untuk mewujudkan masyarakat dengan kehidupan yang baik
(Good Life), dimana yang terdapat dalam fungsi negara yaitu
melaksanakan kepentingan rakyat dengan norma yang berlaku untuk
mewujudkan cita-cita negara. Masyarakat sebagai pelaksana dan tingkatan
pemerintah negara sebagai pengelola sumber daya pembangunan. Terjadi berbagai
permasalahan seperti krisis ekonomi di Indonesia antara lain menunjukkan
tatacara penyelenggara pemerintah dalam mengelola sumber daya pembangunan yang
tidak diatur dengan baik. Akibatnya menimbulkan masalah-masalah yang lain yang
menyebabkan masyarakat menjadi terhambat dalam proses pengembangan ekonomi
Indonesia, sehingga dampak negative seperti peningkatan penganguran, jumlah
penduduk miskin yang bertambah, tingkat kesehatan yang menurun, dan bahkan
konflik-konflik yang terjadi diberbagai daerah.
Penyelenggara
pemerintah yang baik sangat dibutuhkan yang dimana menjadi landasan pembangunan
dan pembuatan kebijakan negara yang demokratis dalam era globalisasi. Oleh
karena itu tata pemerintahan yang baik perlu segera dilakukan agar segala
permasalahan yang timbul dapat diminimalkan , dipecahkan dan juga dipulihkannya
segala bidang dalam masyarakat agar dapat berjalan dengan baik dan lancar.
Disadari, dalam mewujudkan tata pemerintahan membutuhkan waktu yang tidak
singkat dan upaya yang didukung dari segala pihak dan dilakukan secara terus –
menerus. Selain itu aparatur negara, pihak swasta dan masyarakat harus bersatu
dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian dan latar belakang good governance?
2. Bagaimana
prinsip-prinsip dan konsepsi good governance?
3. Bagaimana
penerapan good governance di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Good
Governance
Good
Governance sebagai kriteria Negara-negara yang baik dan berhasil dalam
pembangunan, bahkan dijadikan semacam kriteria untuk memperoleh kemampuan
bantuan optimal dan Good Governance dianggap sebagai istilah
standar untuk organisasi publik hanya dalam arti pemerintahan. Secara
konseptual “good” dalam bahasa Indonesia “baik” dan “Governance”
adalah “kepemerintahan”. Menurut LAN (Lembaga Administrasi Negara) dalam
Sedarmayanti(2008:130) mengemukakan arti good dalam good governancemengandung
dua arti:
1. Nilai-nilai
yang menjunjung tinggi keinginan / kehendak rakyat dan nilai yang dapat
meningkatkan kemampuan rakyat yang dalam pencapaian tujuan (nasional)
kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial.
2. Aspek-aspek
fungsional dari pemerintahan efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya
mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Berbagai pendapat yang
dikemukakan para ahli dalam memahami arti good governance:
1. Robert
Charlick dalam Pandji Santosa (2008:130) mendefinisikangood governance sebagai
pengelolaan segala macam urusan publik secara efektif melalui pembuatan
peraturan dan atau kebijakan yang baik demi untuk mempromosikan nilai-nilai
kemasyarakatan.
2. Bintoro
Tjokroamidjojo memandang Good Governance sebagai “Suatu bentuk
manajemen pembangunan, yang juga disebut sebagai administrasi pembangunan, yang
menempatkan peran pemerintah sentral yang menjadi Agent of change dari
suatu masyarakat berkembang atau develoving didalam
negara berkembang” efisien dan efektif dengan menjaga kesinergian interaksi
yang konstruktif diantara domaindomain negara, sektor swasta, dan masyarakat[1].
3. Menurut
Bank Dunia (World Bank), Good governance merupakan cara
kekuasaan yang digunakan dalam mengelola berbagai sumber daya sosial dan
ekonomi untuk pengembangan masyarakat (Mardoto, 2009).
4. Menurut
UNDP (United National Development Planning), Good governance merupakan praktek
penerapan kewenangan pengelolaan berbagai urusan. Penyelenggaraan negara secara
politik, ekonomi dan administratif di semua tingkatan. Dalam konsep di atas,
ada tiga pilar good governance yang penting, yaitu[2]:
a. Kesejahteraan
rakyat (economic governance).
b. Proses
pengambilan keputusan (political governance).
c. Tata
laksana pelaksanaan kebijakan (administrative governance) (Prasetijo,
2009).
Berdasarkan
uraian pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa good
governance adalah proses penyelenggaraan pemerintahan Negara yang
solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga
kesinergian interaksi yang konstruktif diantara berbagai sumber daya dalam
negara, sektor swasta, dan masyarakat.
B. Latar
belakang Good Governance
Lahirnya
wacana good governance berakar dari penyimpangan-penyimpangan yang terjadi
dalam praktek pemerintahan,seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)[3].
Penyelenggaraan
pemerintahan yang bersifat tidak transparan, nonpartisipatif serta sentralisasi
, menumbuhkan rasa tidak percaya dikalangan masyarakat bahkan menimbulkan
antipati terhadap pihak pemerintah. Masyarakat sangat tidak puas terhadap kinerja
pemerintah yang selama ini dipercaya sebagai penyelenggara urusan publik.
Berbagai ketidakpuasan dan kekecewaan akhirnya melahirkan tuntutan dari
masyarakat untuk mengembalikan dan melaksanakan penyelenggaraan pemerintah yang
ideal, sehingga Good Governance tampil sebagai upaya untuk menjawab berbagai
keluhan masyarakat atas kinerja birokrasi yang telah berlangsung.
C. Prinsip-prinsip
Dasar Good Governance
Dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 prinsip-prinsip kepemerintahan yang
baik terdiri dari[4]:
1. Profesionalitas,
meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi
pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang terjangkau.
2. Akuntabilitas,
meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang
menyangkut kepentingan masyarakat.
3. Transparansi,
menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui
penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang
akurat dan memadai.
4. Pelayanan
prima, penyelenggaraan pelayanan publik yang mencakup prosedur yang
baik, kejelasan tarif, kepastian waktu, kemudahan akses, kelengkapan sarana dan
prasarana serta pelayanan yang ramah dan disiplin.
5. Demokrasi
dan Partisipasi, mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam
menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut
kepentingan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.
6. Efisiensi
dan Efektifitas, menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan
menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab.
7. Supremasi
hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat,
mewujudkan adanya penegakkan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa
pengecualian.
Sebagaimana
dikemukakan di atas bahwa Good governance awalnya digunakan dalam dunia usaha (corporate)
dan adanya desakan untuk menyusun sebuah konsep dalam menciptakan
pengendalian yang melekat pada korporasi dan manajemen profesionalnya maka
diterapkan good corporate governance. Sehingga dikenal prinsip- prinsip utama
dalam governance korporat yaitu: transparansi, akuntabilitas, fairness,
responsibilitas dan responsivitas.[5]
Transparansi
bukan berarti ketelanjangan, melainkan keterbukaan, yakni adanya sebuah sistem
yang memungkinkan terselenggaranya komunikasi internal dan
eksternal dari korporasi. Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban secara
bertingkat ke atas. Dari organisasi manajemen paling bawah hingga dewan
direksi, dam dari dewan direksi kepada dewan komisaris. Akuntabilitas secara
luas diberikan oleh dewan komisaris kepada masyarakat. Sedangkan akuntabilitas
secara sempit dapat diartikan secara finansial. Fairnessagak sulit
diterjemahkan, karena menyangkut keadilan dalam konteks moral. Fairness lebih
menyangkut moralitas dari organisasi bisnis dalam menjalankan hubungan
bisnisnya, baik secara internal maupun eksternal.[6]
Responsibilitas
adalah pertanggungjawaban korporat secara kebijakan. Dalam konteks ini
penilaian pertanggungjawaban lebih mengacu kepada etika korporat,
termasuk dalam hal ini etika professional dan etika manajerial.
Prinsip-prinsip Good
Governance di atas cenderung kepada dunia usaha, sedangkan bagi suatu
organisasi public bahkan dalam skala Negara prinsip-prinsip tersebut lebih luas
menurut UNDP melaui LAN yang dikutip Tangkilisan (2005:115) menyebutkna bahwa
adanya hubungan sinergis dan kontruktif di antara Negara, sector swasta dan
masyarakat disusun sembilan pokok karakteristik Good Governanceyaitu[7]:
1. Partisipasi
(Participation)
Setiap warga Negara
mempunyai suara dalam formulasi keputusan, baik secara langsung
maupun melalui intermediasi institusi legitimasi
yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas
dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara
konstruktif.
2. Penerapan
Hukum (Fairness)
Kerangka hukum harus adil
dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak azasi manusia.
3. Transparansi
(Transparency)
Transparansi dibangun
atas dasar kebebasan arus informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka
yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.
4. Responsivitas
(Responsiveness)
Lembaga-lembaga dan
proses-proses kelembagaan harus mencoba untuk melayani setipa stakeholders.
5. Orientasi
(Consensus Orientation)
Good governance menjadi
perantara kepentingan yang berbeda untuk memeproleh pilihan terbaik bagi
kepentingan yang lebih luas baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun
prosedur-prosedur.
6. Keadilan
(Equity)
Semua warga Negara, baik
laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga
kesejahteraan mereka.
7. Efetivitas
(Effectivness)
Proses-proses dan
lembaga-lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan
menggunkan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin.
8. Akuntabilitas
(Accountability)
Para pembuat keputusan
dalam pemerintahan, secor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung
jawab kepada public dan lembaga-lembaga stakeholder. Akuntabilitas ini
tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan
tersebut untuk kepentingan atau eksternal organisasi.
9. Strategi
Visi (Strategic Vision)
Para pemimpin dan public
harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas
dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam
ini.
Prinsip-prinsip
di atas adalah merupakan suatu karakterisitik yang harus dipenuhi dalam
pelaksanaan good governance yang berkaitan dengan control dan
pengendalian, yakni pengendalian suatu pemerintahan yang baik agar cara dan
penggunaan cara sungguh-sungguh mencapai hasil yang dikehendaki shareholders.
Masyarakat
menyelenggarakan Pemilu untuk menentukan siapa yang menyelenggarakan Negara dan
itu adalah pemerintah. Pemerintah adalah ibarat manajer professional yang
disewa oleh rakyat untuk menyelenggarakan organisasi negara untuk sebesar-besarnya
kemanfaatan rakyat. Penerapan good governance kepada
pemerintah adalah ibarat masyarakat mamstikan bahwa mandate, wewenang hak da
kewajibannya telah dipenuhi dengan sebaik-baiknya. Disini dapat dilihat bahwa
arah ke depan dari good governance adalah membangun the professional
government, bukan dalam arti pemerintah yang dikelola oleh para teknokrat.
Namun oleh siapa saja yang mempunyai kualifikasi
professional, yaitu mereka yang mempunyai ilmu dan pengetahuan yang mampu
mentransfer ilmu dan pengetahuan menjadi skill dan dalam melaksanakannya
berlandaskan etika dan moralitas yang tinggi.
Berkaiatan
dengan pemerintah yang dikelola siapa saja yang mempunyai kualifikasi
professional mengarah kepada kinerja SDM yang ada dalam organisasi public sehingga
dalam penyelenggaraan good governance didasarkan pada kinerja
organisasi publik, yakni responsivitas (responsiveness), responsibilitas
(responsibility), dan akuntabilitas (accountability).
Reponsivitas
adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun
agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program- program pelayanan
publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat[8].
Berdasarkan
pernyataan Tangkilisan di atas maka disebutkan bahwa responsivitas mengacu pada
keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan yang diberikan oleh
organisasi publik dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat yang diprogramkan
dan dijalankan oleh organisasi publik, maka kinerja organisasi tersebut akan
dinilai semakin baik. Responsivitas dimasukkan sebagai salah satu indikator
kinerja karena responsivitas secara langsung menggambarkan kemampuan suatu
organisasi public dalam menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Responsivitas yang sangat rendah ditunjukkan dengan
ketidakselarasan antara pelayanan dan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut jelas
menunjukkan kegagalan organisasi dalam mewujudkan misi dan tujuan organisasi
publik. Organisasi yang memiliki responsivitas rendah dengan sendirinya
memiliki kinerja yang jelek.
Responsibilitas
menjelaskan sejauh mana pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan
sesuai dengan yang implisit atau eksplisit. Semakin kegiatan organisasi public
itu dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi dan peraturan serta
kebijaksanaan oraganisasi, maka kinerjanya akan dinilai semakin baik. Sedangkan
akuntabilitas mengacu pada seberapa besar pejabat poltik dan kegiatan
organisasi publik tunduk pada pejabat poltik yang dipilih oleh rakyat.
Asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh
rakyat, dengan sendirinya akan selalu mempresentasikan kepentingan rakyat.
Dalam konteks ini kinerja organisasi publik dinilai baik apabila
seluruhnya atau setidakanya sebagian besar kegiatannya didasarkan pada
upaya-upaya untuk memenuhi harapan dan keinginan para wakil rakyat. Semakin
banyak tindak lanjut organisasi atas harapan dan aspirasi pejabat politik maka
kinerja organisasi tersebut dinilai semakin baik.
Konsep
akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan
kegiatan organisasi public atau pemerintah seperti pencapaian target. Kinerja
sebaiknya harus dinilai dari ukuran eksternal juga seperti nilai-nilai dan
norma yang berlaku dalam masyarakat. Suatu kegiatan organisasi public memiliki
akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan
nilai dan norma yang berekembang dalam masyarakat.
Lembaga
Administrasi Negara (LAN) merumuskan sembilan aspek fundamental dalam good
governance yang harus diperhatikan yaitu[9] :
1. Partisipasi
(participation)
Semua warga masyarakat
mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui
lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh
tersebut dibangun berdasarkan prinsip demokrasi yaitu kebebasan berkumpul dan
mengungkapkan pendapat secara konstruktif.
2. Penegakan
Hukum (rule of law)
Partisipasi masyarakat
dalam proses politik dan perumusan-perumusan kebijakan publik memerlukan sistem
dan aturan-aturan hukum. Tanpa ditopang oleh sebuah aturan hukum dan
penegakannya secara konsekuen, partisipasi publik dapat berubah menjadi
tindakan publik yang anarkis. Santoso menegaskan bahwa proses mewujudkan
cita-cita good governance, harus diimbangi dengan komitmen untuk menegakkan
rule of law dengan karakter-karakter sebagai berikut :
a. Supremasi
hukum
b. Kepastian
hukum
c. Hukum
yang responsitif
d. Penegakan
hukum yang konsisten dan non diskriminatif
e. Independensi
peradilan
3. Transparansi
(transparency)
Transparansi (keterbukaan
umum) adalah unsur lain yang menopang terwujudnya good governance. Akibat tidak
adanya prinsip transparansi ini, menurut banyak ahli Indonesia telah
terjerembab dalam kubangan korupsi yang berkepanjangan dan parah. Untuk itu, pemerintah
harus menerapkan transparansi dalam proses kebijakan publik. Menurut Gaffar,
terdapat 8 (delapan) aspek mekanisme pengelolaan negara yang harus dilakukan
secara transparan, yaitu :
a. Penetapan
posisi, jabatan dan kedudukan
b. Kekayaan
pejabat publik
c. Pemberian
penghargaan
d. Penetapan
kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan
e. Kesehatan
f. Moralitas
para pejabat dan aparatur pelayanan publik
g. Keamanan
dan ketertiban
h. Kebijakan
strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat
4. Responsif
(responsive)
Affan menegaskan bahwa
pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakat-masyarakatnya, jangan menunggu
mereka menyampaikan keinginannya, tetapi mereka secara proaktif mempelajari dan
menganalisa kebutuhan-kebutuhan masyarakat, untuk kemudian melahirkan berbagai
kebijakan strategis guna memenuhi kepentingan umum.
5. Konsesus
(consesus)
Prinsip ini menyatakan
bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah melalui
konsesus. Model pengambilan keputusan tersebut, selain dapat memuaskan sebagian
besar pihak, juga akan menjadi keputusan yang mengikat dan milik bersama,
sehingga akan memiliki kekuatan memaksa bagi semuakomponen yang terlibat untuk melaksanakan
keputusan tersebut.
6. Kesetaraan
(equity)
Clean and good governance
juga harus didukung dengan asa kesetaraan, yakni kesamaan dalam perlakuan dan
pelayanan. Asas ini harus diperhatikan secara sungguh-sungguh oleh semua
penyelenggara pemerintahan di Indonesia karena kenyatan sosiologis bangsa kita
sebagai bangsa yang majemuk, baik etnis, agama, dan budaya.
7. Efektivitas
dan efisiensi
Konsep efektivitas
dalam sektor kegiatan-kegiatan publik memiliki makna ganda, yakni
efektivitas dalam pelaksanan proses-proses pekerjaan, baik oleh pejabat publik
maupun partisipasi masyarakat, dan kedua, efektivitas dalam konteks hasil,
yakni mampu membrikan kesejahteraan pada sebesar-besarnya kelompok dan lapisan
sosial.
8. Akuntabilitas
(accountability)
Asas akuntabilitas adalah
pertanggung jawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya
kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Secara teoritik, akuntabilitas
menyangkut dua dimensi yakni akuntabilitas vertikal yang memiliki pengertian
bahwa setiap pejabat harus mempertanggung jawabkan berbagai kebijakan dan
pelaksanaan tugas-tugasnya terhadap atasan yang lebih tinggi, dan yang
kedua akuntabilitas horisontal yaitu pertanggungjawaban pemegang jabatan publik
pada lembaga yang setara.
9. Visi
Strategis
Visi strategis adalah
pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang. Tidak
sekedar memiliki agenda strategis untuk masa yang akan datang, seseorang yang
memiliki jabatan publik atau lembaga profesional lainnya, harus memiliki
kemampuan menganalisa persoalan dan tantangan yang akan dihadapi oleh
lembaga yang dipimpinnya.
Sepuluh
Prinsip Good Governance menurut KNKG adalah[10] :
1. Akuntabilitas: Meningkatkan
akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut
kepentingan masyarakat.
2. Pengawasan: Meningkatkan upaya
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan
mengusahakan keterlibatan swasta dan masyarakat luas.
3. Daya Tanggap: Meningkatkan
kepekaan para penyelenggaraan pemerintahan terhadap aspirasi masyarakat tanpa
kecuali.
4. Profesionalisme: Meningkatkan kemampuan
dan moral penyelenggaraan pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah,
cepat, tepat dengan biaya terjangkau.
5. Efisiensi dan Efektivitas: Menjamin
terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya
yang tersedia secara optimal & bertanggung jawab.
6. Transparasi: Menciptakan
kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan
informasi dan menjamin kemudahan didalam memperoleh informasi.
7. Kesetaraan: Memberi peluang
yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya.
8. Wawasan ke depan: Membangun daerah
berdasarkan visi & strategis yang jelas & mengikuti-sertakan warga
dalam seluruh proses pembangunan, sehingga warga merasa memiliki dan ikut
bertanggungjawab terhadap kemajuan daerahnya.
9. Partisipasi: Mendorong setiap
warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses
pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara
langsung mapun tidak langsung.
10. Penegakkan Hukum: Mewujudkan penegakan
hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan
memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
D. Mengkritisi
Pelaksanaan Good Governance
Mewujudkan
konsep good governance dapat dilakukan dengan mencapai keadaan
yang baik dan sinergi antar pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil
dalam pengelolaan sumber-sumber alam, sosial, lingkungan, dan ekonomi.
Prasyarat minimal untuk mencapaai good governance adalah
adanya trasparansi, akuntabilitas, partisipasi, pemberdayaan hukum, efektifitas
dan efisiensi, dan keadilan. Sebagai bentuk penyelenggaraan Negara yang baik
maka harus ada keterlibatan masyarakat di setiap jenjang proses pengambilan
keputusan[11]. Konsep good governance dapat
diartikan acuan untuk proses dan struktur hubungan politik dan social ekonomi
yang baik.
Berdasarkan
uraian diatas dalam perjalanan penerapan good governance hampir
banyak negara mengasumsikannya sebagai sebuahideal type of governance,
padahal konsep itu sendiri sebenarnya dirumuskan oleh banyak praktisi untuk
kepentingan praktis-strategis dalam rangka membangun relasi
negara-masyarakat-pasar yang baik dan sejajar.
Beberapa
ahli malah tidak setuju dengan konsep good governance, karena
dinilai terlalu bermuatan nilai-nilai ideologis. Alternatif lainnya, menurut
Purwo Santoso (2002), adalah democratic governance, yaitu suatu
tata pemerintahan yang berasal dari (partisipasi), yang dikelola oleh rakyat
(institusi demokrasi yang legitimate, akuntabel dan transparan), serta
dimanfaatkan (responsif) untuk kepentingan masyarakat. Konseptualisasi ini
secara substantif tidak berbeda jauh dengan konseptualisasi good
governance, hanya saja ia tidak memasukkan dimensi pasar dalam governance.
Kritik
berikutnya terhadap good governance adalah kegagalannya dalam
memasukkan arus globalisasi dalam pigura analisisnya. Dalam good
governance seolah-olah kehidupan hanya berkutat pada interaksi antara
pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di negara tertentu dengan rakyat
di negara tertentu pula. Tentulah ini sangat naif, secara kenyataan bahwa aktor
yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga elemen tersebut tidak dimasukkan
dalam hitungan, aktor tersebut adalah dunia internasional. Merestrukturisasi
pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat secara domestik dengan
mengabaikan peran aktor internasional adalah pengingkaran atas realitas global.
Dampak dari pengingkaran ini adalah banyaknya variable, yang sebenarnya sangat
penting, tidak masuk kedalam hitungan. Variabel-variabel yang absen itu adalah
kearifan lokal (akibat hegemoni terma “good” oleh Barat) dan dampak dari
kekuatan kooptatif internasional. Secara konseptual keberhasilan
penerapan good governance di berbagai dunia akan selayaknya
juga dibarengi dengan dampak kuatnya fundamental ekonomi rakyat. Kenyataannya,
relasi antara kesejahteraan rakyat dengan good governance tidaklah
seindah teori. Makin merekatnya hubungan antara negara, bisnis dan rakyat
ternyata tidak serta merta menguatkan fundamental ekonomi rakyat. Pukulan
krisis pangan adalah bukti konkrit yang tidak bisa dipecahkan oleh good
governance.
Bila
kita memahami kembali kutipan bahwa Presiden Tanzania Julius K. Nyerere di
depan Konferensi PBB sepuluh tahun lalu, beliau dengan lantang telah mengkritik
habis-habisan good governance yang dikatakannya sebagai konsep
imperialis dan kolonialis. Good governance hanya akan
mengerdilkan struktur negara berkembang, sementara kekuatan bisnis dunia makin
membesar. Terlepas dari benar salahnya kritik sang Presiden, kritik tersebut
mengilhami Ali Farazmand (2004) dalam menggagas konsep Sound Governance (SG)
yang sekaligus membuka arah baru bagi pembangunan global ke depan.
Setelah good governance berhasil menginklusifkan hubungan si
kaya dan si miskin di tingkat nasional, maka fase berikutnya adalah
menginklusifkan hubungan negara kaya dengan negara miskin melalui agenda Sound
Governance. Konsep Sound Governance merupakan konsep baru
yang jauh lebih komprehensif dan reliable dalam menjawab kegagalan
epistimologis dan solusi atas arus besar kesalah kaprahan dari good governance.
Terdapat tiga alasan utama yang muncul dari wacana Sound Governance.
Pertama,
dari evaluasi terhadap pelaksanaan good governance bahwa aktor
kunci yang berperan adalah terfokus pada tiga aktor (pemerintah, pasar dan
civil society), dan good governanceselama ini lebih
merestrukturisasi pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat secara domestik. Sound
Governance mempunyai pandangan yang jauh komprehensif dengan empat
aktor, yaitu inklusifitas relasi politik antara negara, civil society,
bisnis yang sifatnya domestik dan satu lagi aktor yaitu kekuatan internasional.
Kekuatan internasional di sini mencakup korporasi global, organisasi dan
perjanjian internasional. Dalam pandangan Sound Governance penerapan good
governance kehidupannya hanya berkutat pada interaksi antara
pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di negara tertentu dengan rakyat
di negara tertentu pula. Tentulah ini sangat naif, sebab kenyataan bahwa aktor
yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga elemen tersebut tidak dimasukkan
dalam hitungan. Aktor tersebut adalah dunia internasional.[12]
Kedua,
bermula dari kritik terhadap identitas dari good governance kata
“good” menjadi sesuatu yang hegemonik, seragam dan juga dilakukan tak
jarang dengan paksaan. Term “good” dalam good governance adalah
westernized dan diabsolutkan sedemikian rupa. Sound Governance mempunyai
pandangan yang berbeda dan justru mengedepankan adanya penghormatan atas
keragaman konsepsi birokrasi dan tatapemerintahan, utamanya nilai dasar budaya pemerintahan
tradisional yang telah terkubur. Ali Farazmand mencontohkan kebesaran kerajaan
Persia, sebelum digulung oleh dominasi budaya barat, memiliki prestasi yang
sangat besar dalam pengelolaan pemerintahan[13]. Berdasarkan apa yang
disampaikan Ali Farazmand bahwa pentingnya sistem pemerintahan yang berbasis
pada budaya lokal sudah mulai banyak terabaikan dan ini juga terjadi di negara
dunia ketiga termasuk di Indonesia (Andi,2007). Hal ini terjadi karena
kontruksi konsep birokrasi modern Weber yang mewarnai perkembangan ilmu
administrasi publik termasuk lahirnya good governance adalah
bentuk pembantaian budaya lokal dalam sistem pemerintahan. Sound governance muncul
untuk memberikan peluang dalam menyelamatkan keragaman kebudayaan lokal dalam
mewarnai konsep tata pemerintahan.
Ketiga, dalam
pelaksanaan good governance untuk berjalannya proses tata
pemerintahan yang baik maka ada satu jalan yaitu bagaimana pemerintahan harus
menjalankan prinsip-prinsip yang digariskan dalam good governance yaitu: participation,
rule of law, transparancy, responsiveness, consensus orientation, equity,
effectiveness and efficiency, accountability, strategic vision. Sound
Governancemempunyai pandangan berbeda dan lebih melihat pada proses menuju
tercapainya tujuan, dari pada membahas perdebatan soal bagaimana
(prinsip-prinsip) dilakukan untuk mencapai tujuan. Kendati demikian di dalam
sound governance masih menekankan perlunya prasyarat-prasyrat dasar universal
terkait demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas. Untuk itu titik tekan dari
sound governance adalah fleksibilitas dan ini dibutuhkan “inovasi” yang
kemudian menjadi ruh implementasi sound governance dalam
praktek pemerintahan.
Berdasarkan
uraian diatas bahwa Sound governance sebagai wacana baru yang muncul sebagai
kritik good governance, yaitu memberikan makna term “Sound”
menggantikan “Good” adalah dalam rangka penghormatan terhadap kenyataan
keragaman (diversity). Untuk itu Sound governance dalam
tata pemerintahan (pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat) membuka
kembali peluang variable-variable yang absen yaitu kearifan lokal (akibat
hegemoni term “good” oleh Barat) dan dampak dari kekuatan kooptatif
internasional. Menyadarkan kembali bahwa konsep-konsep non-barat sebenarnya
banyak yang applicable, khususnya di bidang pemerintahan. Selain
ituSound governance pada prinsipnya juga memberikan ruang bagi
tradisi atau invoasi lokal tentang bagaimana negara dan pemerintahan harus
ditata, sesuai dengan kebiasaan, budaya dan konteks lokal. Tentu ukuran
universal tentang kesejahteraan rakyat dan penghormatan hak dasar harus tetap
ditegakkan[14].
E. Good
Governance di Indonesia
Pada awal 2007,
Komite Nasional Kebijakan Governance telah menyempurnakan Pedoman Umum Good
Coorporate Governance(GCG) dan merintis pembuatan Pedoman Good
Public Governance(Combined Code) yang pertama di Indonesia, dan
mungkin bahkan di dunia. Ini merupakan sebuah terobosan dan bukti kepedulian
terhadap penciptaan kondisi usaha yang lebih baik dan menjanjikan di Indonesia
jika diterapkan dengan konsisten. Pemerintah melalui perangkatnya juga terlihat
melakukan banyak pembenahan untuk memperbaiki citra pemerintah dan
keseriusannya dalam meningkatkan praktik good public governance,
melalui pemberdayaan Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian telah
cukup banyak temuan dan kasus yang diangkat ke permukaan dan diterapkan
enforcement yang tegas[15].
Indonesia di
tengah dinamika perkembangan global maupun nasional, saat ini menghadapi
berbagai tantangan yang membutuhkan perhatian serius semua pihak. Good
governance atau tata pemerintahan yang baik, merupakan bagian dari
paradigma baru, yang berkembang dan, memberikan nuansa yang cukup mewarnai
terutama pasca krisis multi dimensi, seiring dengan tuntutan era reformasi.
Situasi dan kondisi ini menuntut adanya kepemimpinan nasional masa depan, yang
diharapkan mampu menjawab tantangan bangsa Indonesia mendatang. Perkembangan
situasi nasional dewasa ini, di cirirkan dengan tiga fenomena yang dihadapi,
yaitu[16]:
1. Permasalahan
yang semakin kompleks (multidimensi )
2. Perubahan
yang sedemikian cepat (regulasi kebijakan dan aksi-reaksi masyarakat)
3. Ketidakpastian
yang relatif tinggi (bencana alam yang silih berganti, situasi ekonomi yang
tidak mudah di prediksi, dan perkembangan politik yang up and down).
Kesenjangan proses
komunikasi politik yang terjadi di Indonesia antara pemerintah dan rakyatnya,
maupun partai yang mewakili rakyat dengan konstituennya menjadikan berbagai
fenomena permasalahan sulit untuk di pahami dengan logika awam masyarakat,
seperti[17]:
1. Indonesia
kaya raya potensi Sumber Daya Alam(SDA), mengapa banyak yang miskin?
2. Anggaran
untuk penanggulangan kemiskinan naik drastis dalam tiga tahun terakhir ini,
dari 23 trilyun (2003) menjadi 51 trilyun lebih (2007), mengapa jumlah penduduk
miskin justru meningkat dari 35,10 juta (2005) menjadi 39,05 juta (2006) ?
Bukankah bila anggarannya di tambah dengan tujuan untuk menanggulangi
kemiskinan, jumlah penduduk miskin seharusnya dapat berkurang.
3. Berikutnya,
produksi pertanian konon surplus (meningkat) 1,1 juta dan bahkan kita oernah
berswasembada pangan. Mengapa harga beras membumbung tinggi? Mengapa harus
import terus? Semua ini membuat masyarakat pusing tujuh keliling karena tidak
memahami kebijakan nasional.
Komunikasi politik
ke bawah, secara efektif belum terjadi, sehingga hanya mengandalkan informasi
dari berbagai media massa dengan variatif dan terkadang bisa berbau provokatif.
Dalam situasi masyarakat seperti itu (kebingungan informasi), masyarakat tak
tahu apa itu good governance.
Sekalipun pemerintah
berusaha gencar memasyarakatkannya, namun proses dan cara yang salah dalam
berkomunikasi justru akan di sambut dengan apatisme masyarakat. Dalam situasi
masyarakat yang sedang belajar berdemokrasi, komunikasi politik yang
transparan, partisipasi, dan akuntabilitas kebijakan publik menjadi sangat
penting. Ini artinya, good governance menemukan relevansinya.
Laporan Global
Competitiveness Report yang dipublikasikan oleh World Economic
Forum (WFF) yang menganalisis daya saing ekonomi dengan pendekatan,
yakni pendekatan pertumbuhan ekonomin (OCI) dan pendekatan mikro ekonomi (MCI)
menunjukkan bahwa peringkata daya saing perekonomian Indonesia (Growth
Competitiveness Index) merosot lagi dari urutan ke 64 di tahun 2001 ke
urutan 67 (dari 80 negara) di tahun 2002, dan daya saing mikro ekonomi (MCI)
turun sembilan tingkat, dari urutan ke 55 menjadi urutan ke 63. Sebelumnya
sebuah survey yang dilaporkan pada bulan Juni tahun 2001, yang di lakukan
oleh Political and economic Risk consultancy (PERC), menempatkan
Indonesia dalam kelompok dengan resiko politik dan ekonomi terburuk di antara
12 negara Asia bersama Cina dan Vietnam. Di lihat dari kebutuhan dunia akan
usaha, kepercayaan investor yang menuntut adanya corporate governance berdasarkan
prinsip-prinsip dan praktek yang di terima secara Internasional (Internasional
Best Practice), maka terbentuknya komite internasional mengenai kebijakancorporate
governance, National Comittee on Corporate Governance (NCCG) di bulan
Agustus tahun 1999 merupakan suatu tonggak penting dalam sejarah
perkembangan Good Governance di Indonesia.
Secara riil,
melihat data investasi ke Indonesia selama 2007, ada perkembangan luar biasa,
karena realisasi PMA naik lebih dari 100%, dengan nilai realisasi investasi
yang menembus US$9 miliar. Namun, penilaian dari lembaga-lembaga internasional
sepertinya tidak ada perubahan yang signifikan dalam penerapan good governance
secara konsisten. Berdasarkan survei World Bank 2007, ada perbaikan dalam
situasi bisnis di Indonesia. Misalnya pada pembentukan usaha baru, Indonesia
telah menunjukkan reformasi positif dengan percepatan pemberian persetujuan
lisensi usaha dari Departemen Kehakiman dan simplifikasi persyaratan usaha.
Selain itu,
Indonesia telah melakukan pencatatan semua kreditur dalam “credit registries”,
dan memperbesar pagu kredit hampir lima kali lipat. Ini tentu akan memudahkan
para entrepreneur untuk menambah modal usaha, selain menjaga terhadap risiko
pemberian kredit bermasalah. Juga ada perbaikan dalam peng-eksekusi-an kontrak
di Indonesia[18].
Walaupun demikian,
dalam urutan peringkat Indonesia malah menurun. Dari total 175 negara,
Indonesia berada di posisi 135, turun empat peringkat dibandingkan dengan tahun
2006. Dari sini bisa disimpulkan bahwa penerapan governance yang baik di
Indonesia sudah mengalami kemajuan. Namun, negara-negara lain tampaknya berlari
lebih cepat dibandingkan dengan Indonesia, karena mereka yakin dengan upaya
demikian mereka unggul dalam menarik investasi.
Survei ACGA
(Asian Corporate Governance Association) tentang praktik corporate
governance di Asia juga menyebutkan penerapan indikator CGG di Indonesia semuanya
berada di bawah rata-rata. Indikator ini meliputi prinsip dan praktik
governance yang baik, penegakkan peraturan, kondisi politik dan hukum, prinsip
akuntansi yang berlaku umum, dan kultur[19].
Dalam laporan
itu disebutkan beberapa hal yang baik di Indonesia.
1. Pertama,
walaupun kondisi pelaporan keuangan di Indonesia belum memadai, kualitas
pelaporan keuangan kuartalan ternyata cukup bagus.
2. Kedua,
Indonesia ternyata juga memiliki kerangka hukum yang paling .strict dalam
memberikan perlindungan untuk pemegang saham minoritas, khususnya dalam
pelaksanaan preemptive rights (hak memesan efek lerlebih dahulu).
3. Ketiga,
gerakan antikorupsi yang dilakukan pemerintah telah menunjukkan hasil cukup
positif. Ditambah lagi, penyempurnaan Pedoman Unium CGG, dan Pedoman CGG sektor
perbankan yang dilakukan di Indonesia. Namun, masih menurut laporan tadi, belum
banyak yang percaya bahwa pemerintah cukup serius mendorong penerapannya.
Selanjutnya,
seorang pengamat mencoba mengkaji kadar penyelenggaraan pemerintahan yang baik
di Indonesia, beliau menyimpulkan bahwa ada beberapa pertanyaan yang perlu
diperhatikan, apabila Indonesia akan menciptakan pemerintahan yang baik, antara
lain :
1. Bagaimana
relasi antara pemerintah dan rakyat
2. Bagaimana
kultur pelayanan publik
3. Bagaimana
praktek KKN
4. Bagaimana
kuantitas dan kualitas konflik antara level pemerintah
5. Bagaimana
kondisi tersebut di provinsi dan kabupaten/kota
Dari kajian
yang dilaksanakan, maka ditemukan ciri pemerintahan yang buruk, tidak efisien
dan tidak efektif, dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Relasi
antara pemerintah dan rakyat berpola serba negara
2. Kultur
pemerintah sebagai tuan dan bukan pelayan
3. Patologi
pemerintah dan kecenderungan KKN
4. Kecenderungan
lahirnya etno politik yang kuat
5. Konflik
kepentingan antar pemerintah
Bab III
Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Good
governance adalah proses penyelenggaraan pemerintahan Negara yang solid dan
bertanggung jawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga kesinergian
interaksi yang konstruktif diantara berbagai sumber daya dalam negara, sektor
swasta, dan masyarakat.
2. Prinsip-prinsip
Dasar Good Governance, yaitu:
a. Akuntabilitas
b. Pengawasan
c. Daya Tanggap
d. Profesionalisme
e. Efisiensi dan Efektivitas
f. Transparasi
g. Kesetaraan
h. Wawasan ke depan
i. Partisipasi
j. Penegakkan Hukum
3. Good
Governance mengalami perjalanan yang cukup panjang dan penerapannya
masih perlu perbaikan.
B. Saran
Penerapan Good
Governance di Indonesia maupun di beberapa negara masih perlu adanya
evaluasi dan perbaikan demi terselenggaranya kehidupan bernegara yang lebih
baik lagi.
Pembuatan
makalah Good Governance memerlukan banyak sumber yang
mendukung. Banyak sumber yang mencantumkan perbedaan pendapat, namun masih
dalam pokok yang sama, maka diperlukan kecermatan dalam memilah materi bagi
penulis.
Daftar
Pustaka
Sumber Buku:
Dwiyanto,
Agus. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik.
Yogyakarta : Gajah Mada Univercity Press. 2009
Farazmand,
Ali. Sound Governance, Piliticy and Administrative Innovation.
Wastport : Praeger. 2004
Nugroho,
D. Riant. Kebijakan Publik, Formulasi Implementasi dan Evaluasi.
Jakarta:Gramedia. 2004
Tangkilisan,
Hessel Nogi S. Manajemen Publik. Jakarta: Grassindo. 2005
Ubaidillah,
A dan Abdul Rozaq. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani.
Jakarta: IAIN Jakarta Press. 2007
Sumber Internet dan Jurnal:
Anonim. Sepuluh
Prinsip Good Governance. 2010. http://knkg-indonesia.com/home/news/93-10-prinsip-good-governance.html.
[Diakses pada 20.15 WIB, Minggu, 6 Desember 2015]
Anonim. Ilmu
Administrasi Negara. 2013. eJournal. [Diakses pad 13.00 WIB, Rabu, 9
Desember 2015]
Anonim. Pengertian
Good Governance menurut Ahli. 2011.http://kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=1067. [Diakses
pada 16.05 WIB, Sabtu, 5 Desember 2015]
Mardoto. Mengkritisi
Good Governance di Indonesia. 2009.http://mardoto.com/2009/04/30/suara-mahasiswa-009-mengkritisi-clean-and-good-governance-di-indonesia/.
[Diakses pada 21.00 WIB, Minggu, 6 Desember 2015]
Yenny. Prinsip-prinsip
Good Governance. 2013. http://ejournal.an.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2013/03/EJOURNAL%20YENNY%20(03-02-13-06-48-29).pdf
Komentar
Posting Komentar